Pokok Pokok Pikiran tentang DPRD

POKOK-POKOK PIKIRAN UNTUK PENYEMPURNAAN PENGATURAN TENTANG DPRD SERTA KEDUDUKAN KEUANGAN DAN PROTOKOLER DPRD

Oleh ; Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS ( Kepala LPM IPDN – Guru Besar IPDN )

1. Filosofi dan Tujuan Penyempurnaan Pengaturan tentang DPRD serta Kedudukan

Dalam sistem pemerintahan Indonesia sebagai negara kesatuan, keberadaan daerah otonom adalah karena dibentuk oleh pemerintah pusat serta menerima penyerahan kewenangan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Dengan perkataan lain, pemerintahan daerah merupakan subsistem dari sistem pemerintahan tingkat nasional. Oleh karena itu, perubahan yang terjadi di tingkat nasional secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh pada subsistem yang ada dibawahnya.

Di tingkat nasional, telah terjadi perubahan pembagian kekuasaan antar unsur penyelenggara negara yang semula menggunakan paradigma pembagian kekuasaan (distribution of power) menjadi paradigma pemisahan kekuasaan (separation of power). Dengan paradigma yang lama, presiden sebagai satu-satunya mandataris MPR yang menjalankan kedaulatan rakyat menjadi amat berkuasa, sehingga leluasa melakukan intervensi kekuasaan pada unsur-unsur penyelenggara pemerintahan lainnya. Sebagai mandataris MPR, presiden juga memegang kekuasaan membentuk UU (lihat pasal 5 ayat 1 UUD 1945 yang asli), padahal membentuk UU merupakan kekuasaan legislatif yang seharusnya menjadi ranah DPR. Melalui amandemen UUD 1945 sampai keempat kalinya, fungsi legislasi telah dikembalikan ke tangan DPR. Hal ini dapat dilihat dari bunyi pasal 20 ayat (1) UUD 1945 (Amandemen) yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Setelah terjadinya perubahan paradigma, dalam praktek pemerintahan kemudian dapat dilihat banyaknya inisiatif DPR dalam membuat undang-undang yang semua rencananya tertuang dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional).

Dalam rangka desentralisasi, pemerintah pusat memancarkan kekuasaannya kepada daerah otonom. Pemerintah pusat yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti sempit yakni kekuasaan eksekutif yang berada di tangan presiden. Pada pasal 1 butir nomor 1 UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa : ” Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Dengan demikian, kewenangan pemerintahan yang dijalankan daerah otonom dalam rangka desentralisasi adalah derivasi dari kekuasaan eksekutif di tingkat nasional, sehingga seluruh tanggung jawab penyelenggaraannya akan bermuara di tangan presiden.

Untuk menjalankan desentralisasi di daerah otonom dibentuk pemerintah daerah yang tediri dari kepala daerah dan perangkat daerah serta DPRD yang merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah. Sebagai subsistem pemerintahan nasional, paradigma yang digunakan di dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah harus sejalan dengan paradigma penyelenggaraan pemerintahan nasional, termasuk upaya penguatan peran DPR di tingkat nasional yang berdampak pada penguatan peran DPRD di daerah.

Pada paradigma lama dengan presiden sebagai satu-satunya mandataris MPR, memunculkan derivasi berupa kepala wilayah sebagai penguasa tunggal di daerah. Kepala daerah yang karena jabatannya adalah kepala wilayah sekaligus memegang kekuasaan menyusun peraturan daerah. Pada pasal 80 UU Nomor 5 Tahun 1974 disebutkan bahwa :” Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah adalah Penguasa Tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang”. Pada pasal 38 UU Nomor 5 Tahun 1974 dikemukakan bahwa : ” Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Peraturan Daerah”. Dari pasal tersebut nampak bahwa hak legislasi berada di tangan kepala daerah, bukan di tangan DPRD. Hal tersebut sejalan dengan UUD 1945 yang asli.

Perubahan paradigma pemerintahan yang dibawa di dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 ternyata tidak mengubah posisi kunci dalam pembuatan peraturan daerah. Pada pasal 43 huruf (g) disebutkan bahwa Kepala Daerah mempunyai kewajiban mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai Peraturan Daerah bersama dengan DPRD. Pasal tersebut menunjukkan bahwa pembuatan peraturan daerah masih merupakan kewajiban kepala daerah. Karena kewajiban, maka sifatnya imperatif dan harus dilaksanakan. Di sisi lain, pasal 18 ayat (1) butir (d) UU Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : ” DPRD mempunyai tugas dan wewenang bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota membentuk Peraturan Daerah”. Pasal tersebut menunjukkan bahwa kedudukan DPRD dalam hal penyusunan peratuiran daerah masih lemah dan berada di bawah bayang-bayang kepala daerah.

Meskipun di dalam pasal 19 ayat (1) butir (f) ditetapkan bahwa : ” DPRD mempunyai hak mengajukan Rancangan Peraturan Daerah”. Tetapi hak yang bersifat tentatif tersebut tersebut relatif jarang digunakan. Inisiatif pembuatan peraturan daerah sebagian besar masih datang dari kepala daerah. DPRD lebih banyak berposisi sebagai pembahas.

Beranjak pada UU Nomor 32 Tahun 2004, pada pasal 25 butir (b) disebutkan bahwa : ” Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang mengajukan rancangan Perda”. Sedangkan pada pasal 42 ayat (1) butir (a) disebutkan bahwa : ” DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama”. Dari bunyi kedua pasal tersebut dapat ditangkap bahwa pada dasarnya belum ada perubahan paradigma di dalam pembagian fungsi antara kepala daerah dengan DPRD. Kepala Daerah masih memegang peranan sebagai eksekutor sekaligus inisiator fungsi pembuatan kebijakan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 nampaknya belum memasukkan paradigma baru dalam bidang pemerintahan yang dimuat dalam amandemen UUD 1945, mulai dari amandemen pertama (disahkan 19 0ktober 1999) sampai amandemen keempat (disahkan 10 Agustus 2002)., yakni perubahan paradigma alokasi kekuasaan diantara cabang-cabang pemerintahan. Perubahn justru diatur di dalam PP Nomor 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pada pasal 95 ayat (1) PP tersebut dikemukakan bahwa : ” DPRD memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah”. Pasal ini senada dengan bunyi pasal 20 ayat (1) UUD 1945 yang telah dikemukakan di atas.

Filosofi perubahan yang ingin ditawarkan adalah terbangunnya pemerintahan yang konstitusional (lihat UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005-2025) dan bersandar pada hukum dalam rangka tata pemerintahan yang baik (good governance). Sejalan dengan filosofi tersebut, penguatan peran DPRD dalam fungsi legislasi merupakan suatu keharusan.

2. Identifikasi Masalah Berkaitan Dengan DPRD Serta Kedudukan Keuangan dan Protokoler DPRD

Masalah yang berkaitan dengan DPRD dapat diidentifikasi sebagai berikut :

a) kedudukan keorganisasian DPRD;

b) kedudukan anggota DPRD;

c) kedudukan keuangan dan protokoler DPRD.

  1. Kedudukan Keorganisasian DPRD

Menurut pasal UU Nomor 5 Tahun 1974, pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Pasal tersebut menunjukkan bahwa kepala daerah dan DPRD berada dalam satu kotak. Mereka merupakan mitra yang berkedudukan sejajar dan bersifat saling mengisi dan saling melengkapi. Kepala Daerah tidak dapat membubarkan DPRD, sebaliknya DPRD tidak dapat menjatuhkan kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir. Meskipun disebut mitra yang berkedudukan sejajar, tetapi karena kepala daerah adalah juga kepala wilayah serta sistem pemerintahannya sangat sentralistik, dalam prakteknya kedudukan kepala daerah lebih kuat dibandingkan DPRD.

Salah satu sasaran penting reformasi adalah mengubah sistem pemerintahan yang sangat sentralistik menjadi pemerintahan desentralistik yang demokratis. Kedaulatan rakyat yang selama masa orde baru dimanipulasi menjadi kedaulatan penguasa, dikembalikan ke tangan rakyat. Bentuk kongkretnya adalah membuat kedudukan DPRD sebagai wakil rakyat lebih kuat dibandingkan kepala daerah. Hal tersebut nampak dalam UU Nomor 22 Tahun 1999. Pada pasal 14 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 dikemukakan bahwa : ” Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah”. Selanjutnya pada pasal 16 ayat (2) dikemukakan bahwa : ” DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah”. Tetapi kemudian pada pasal 18 ayat (1) butir (a) dikemukakan bahwa : ” DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota”, yang berkait dengan pasal 44 ayat (2) bahwa : ” Dalam menjalankan tugasw dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD”.

Ada dua kontroversi dari isi beberapa pasal yang dikemukakan di atas, pertama penggunaan istilah DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah. Kedua, pernyataan berkedudukan sejajar dan menjadi mitra tetapi harus bertanggung jawab. Kontroversi pertama dikaitkan dengan definisi desentralisasi dan pemerintah pusat. Pada pasal 1 butir (e) dinyatakan bahwa : ” Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka NKRI”. Sedangkan dalam pasal 1 huruf (a) dikemukakan bahwa : ” Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat NKRI yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri”. Dengan demikian, desentralisasi merupakan pemencaran kekuasaan eksekutif yang ada di pusat- yakni Presiden beserta para Menteri – kepada Daerah Otonom. Artinya pelaksanaan desentralisasi merupakan derivasi kekuasaan eksekutif di daerah. Apabila DPRD diposisikan sebagai Badan Legislatif Daerah, menimbulkan kontroversi karena eksekutif di pusat mempunyai ”anak” badan legislatif di daerah.

Kontroversi kedua adalah pernyataan bahwa kepala daerah berkedudukan sejajar dan mitra DPRD, tetapi kepala daerah dipilih dan bertanggungjawab kepada DPRD. Posisi DPRD yang memilih dan meminta pertanggungjawaban kepala daerah bercorak sistem semi-parlementer, yang tidak sejalan dengan corak pemerintahan nasional yang menggunakan sistem presidensiil.

Kedua kontroversi tersebut kemudian diubah oleh UU Nomor 32 Tahun 2004, yang oleh sementara kalangan DPRD dianggap sebagai upaya mengkerdilkan kedudukan DPRD. Pada UU Nomor 32 Tahun 2004. Pada pasal 19 ayat (1) UU tersebut dikemukakan bahwa : ” Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden, dan oleh menteri negara”. Sedangkan pada ayat (2) nya dikemukakan bahwa : ” Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD”. Isi kedua ayat tersebut terlihat adanya kaitan yang erat. Di tingkat pusat yang disebut penyelenggara pemerintahan adalah eksekutif yang terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden serta para menteri. Di tingkat daerah, penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD yang memperoleh tarnsfer kewenangan Presiden (lihat pasal 1 butir nomor 1 UU Nomor 32 Tahun 2004). Dengan perkataan lain, DPRD adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Hal tersebut dipertegas di dalam pasal 40 UU Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa : ” DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dari dua pasal yang dikutip di atas terdapat dua pengertian mengenai kedudukan DPRD. Pengertian pertama menempatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, yang menunjuk pada badan yang melakukan kegiatan pemerintahan daerah. Pengertian kedua menempatkan DPRD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang menggambarkan bagian dari suatu aktivitas. Nampak ada ketidakkonsistenan dalam penggunaan istilah yang dapat menimbulkan multitafsir atau bahkan salah tafsir.

  1. Kedudukan anggota DPRD

Masalah penting lainnya yang sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan di kalangan anggota DPRD adalah mengenai kepastian kedudukan anggota DPRD, apakah sebagai pejabat negara atau hanya disamakan dengan pejabat negara. Pada pasal 11 ayat (1) UU 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menyebutkan bahwa Pejabat Negara terdiri atas :

a. Presiden dan Wakil Presiden.

b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota MPR.

c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR

d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan.

e. Ketua, Wakil Ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Agung.

f. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan.

g. Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri.

h. Kepala Perwakilan RI di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh.

i. Gubernur dan Wakil Gubernur.

j. Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, dan

k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.

Berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat (10 UU Nomor 43 Tahun 1999 sebagaimana dikemukakan di atas, anggota DPRD tidak secara eksplisit disebutkan sebagai pejabat negara. Tetapi ada peluang untuk menetapkan anggota DPRD sebagai pejabat negara, yakni pada huruf (k), asalkan ada undang-undang yang menetapkannya. Penetapan anggota DPRD menjadi pejabat negara akan membawa dampak beban pembiayaan yang sangat besar bagi keuangan negara, baik untuk pemberian tunjangan pejabat negara maupun tunjangan pensiun pejabat negara. Jumlahnya anggota DPRD- baik provinsi maupun kabupaten/kota – di seluruh Indonesia sangat banyak dan setiap lima tahun sekali akan bertambah terus.

Apabila pertimbangannya karena ketidakmampuan keuangan negara untuk memberi tunjangan pensiun bagi anggota DPRD, hal tersebut menimbulkan ketidakadilan dengan ambivalensi perlakuan terhadap sesama wakil rakyat yang duduk karena didukung oleh rakyat. Sebenarnya masalah utamanya terletak pada sistem pemberian tunjangan pensiun bagi anggota DPR di tingkat nasional. Hanya kerja lima tahun dapat pensiun seumur hidup. Hal tersebut jelas sangat tidak adil. Apabila sistem pemberian tunjangan bagi purnatugas anggota DPR diubah, yakni hanya diberi tunjangan purnatugas sama dengan lamanya bertugas di DPR, maka para anggota DPRD pun dapat diberikan tunjangan purna tugas dengan sistem yang sama. Sistem ini pada satu sisis tidak akan membebani keuangan negara terlampau besar, pada sisi yang lain dapat memberikan kepastian kedudukan bagi anggota DPRD.

Selama ini anggota DPRD hanya disamakan dengan pejabat negara, terutama dalam hal kewajibannya antara lain keharusan melaporkan kekayaannya kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebelum dan sesudah yang bersangkutan menjadi anggota DPRD.

  1. Kedudukan Keuangan dan Protokoler Anggota DPRD

Kedudukan keuangan dan protokoler anggota DPRD berkaitan erat dengan statusnya bukan sebagai pejabat negara melainkan sebagai pejabat yang disamakan dengan pejabat negara. Pengaturannya ditetapkan dalam sebuah peraturan pemerintah. Kasus PP Nomor 11 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD memberi pelajaran berharga bagi perjalanan demokrasi di tingkat daerah. Dengan kedudukan yang lebih kuat dibandingkan kepala daerah, DPRD memiliki kebebasan menggunakan anggaran publik yang kemudian berujung pada masalah hukum karena terkait kasus korupsi. PP Nomor 110 Tahun 2000 kemudian diganti dengan PP Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Satu tahun duabulan kemudian, PP ini diubah dengan PP Nomor 37 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas PP Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

Perubahan penting dalam PP tersebut adalah disediakan anggaran yang cukup untuk menunjang kegiatan DPRD dalam menjalankan fungsinya (fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan). Isi pasal 24 PP Nomor 37 Tahun 2005 yaitu sebagai berikut :

(1) Belanja penunjang kegiatan disediakan untuk mendukung kelancaran tugas, fungsi dan wewenang DPRD;

(2) Belanja penunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan Pimpinan DPRD.

(3) Rencana kerja DPRD dapat berupa kegiatan :

a. rapat-rapat;

b. kunjungan kerja;

c. penyiapan rancangan peraturan daerah, pengkajian dan penelaahan peraturan daerah;

d. peningkatan sumberdaya manusia dan profesionalisme;

e. koordinasi dan konsultasi kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan.

Dari isi pasal tersebut dapat diketahui bahwa peraturan perundang-undangan memberi dukungan agar fungsi – fungsi DPRD dapat berjalan dengan lancar, termasuk pelaksanaan fungsi legislasi. Tetapi kemudian ada berbagai Surat Edaran dari Departemen Dalam Negeri yang membatasi isi rencana kerja DPRD.

3. Tinjauan singkat terhadap kebijakan yang mengatur tentang DPRD Serta Kedudukan Keuangan dan Protokoler DPRD

Dunia kelegislatifan daerah di Indonesia mengalami goncangan yang sangat hebat pada saat terjadinya kasus PP Nomor 110 Tahun 2000, yang kemudian ditambah dengan kasus PP Nomor 37 Tahun 2006. Kasus-kasus tersebut sebenarnya merupakan kesalahan kebijakan pemerintah pusat tetapi kemudian akibatnya mengenai sebagian anggota DPRD. Dampak psikologis yang muncul kemudian adalah hancurnya citra anggota DPRD dihadapan rakyat. Para anggota DPR maupun DPRD sudah tidak layak lagi disebut dengan ungkapan ”yang terhormat”. Selain karena perilakunya yang mengecewakan masyarakat, sebutan tersebut juga bernuansa feodalisitik, sehingga kurang demokratis.

Selama ini kebijakan pemerintah terhadap DPRD nampak serba mendua. Disatu sisi ingin memperkuat berbagai fungsi DPRD, baik fungsi legislasi, fungsi anggaran maupun fungsi pengawasan. Tetapi di sisi lain, kebebasan untuk mengalokasikan pembiayaan untuk menjalankan fungsi tersebut sangat dibatasi. Ada perlakukan yang diskriminatif antara DPR dengan DPRD, meskipun mereka sama-sama dipilih oleh rakyat. Di tingkat nasional, DPR dapat dengan leluasa menambahkan anggaran untuk pembuatan RUU, uang komunikasi, uang sidang, pembelian laptop dan lain sebagainya karena tidak ada aturan baku yang mengaturnya. Mereka hanya diatur oleh hati nurani dan asas kepatutan saja. Di tingkat subnasional, banyak sekali peraturan perundang-undangan yang mengatur kedudukan keuangan dan protokoler DPRD, mulai dari UU, PP, Peraturan Menteri Dalam Negeri, bahkan sampai Surat Edaran yang tidak jelas kaitan pasalnya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya seperti diamanatkan oleh pasal 7 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2004.

Sumber : forumpamong.or.id

Explore posts in the same categories: Uncategorized

Tinggalkan komentar